CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kamis, 19 Maret 2009

GRAFFITI DI INDONESIA: SEBUAH POLITIK IDENTITAS ATAUKAH TREN? (Kajian Politik Identitas pada Bomber di Surabaya)

Okay, graffiti mungkin sesuatu yang cowok banget, and ada unsur sedikit criminal di dalamnya karena menyangkut kepentingan publik, Cita dia punya nama asli lengkapnya kurang tahu, dulu dia cakep banget deh, flawless abiz maklum ada Indomix (campuran) hehehex3 tapi kita ngga mau ngebahas itu, CHELOVE adalah nama jalanan dia, Dia banyak menuliskan Graffiti di Silver Spring MD, tidak jauh dari Washington DC. Graffiti CHELOVE bisa di temui di mana-mana padahal waktu itu umur CITA masih belasan tahun.

Di dunia design dan art Cita mulai menampangkan dirinya dengan tepat, dia bergabung dengan small media company Protein Media, yang memproduksi E-learning content untuk anak-anak dan anak cacat yang kurang beruntung. Juga di web design.

Gaya design CHELOVE kalo untuk web simple dan eccentric, dan dia jago banget bikin character-2 yang lucu and gokil, maklum dia kan CHELOVE termasuk graffiti artist yang dapet respect banget di East Coast USA, dia pernah masuk feature di beberapa majalah dan buku tentang graffiti.

CITA juga membuka studio kecil di Washington DC untuk karya-karyanya, bersama rekananya orangnya lumayan gokil-deh. CHELOVE orangnya fun banget kayaknya ngga pernah susah dan itu sangat di tuangin di karya-karyanya. Dan aura dia mengatakan banyak tentang FREEDOM.. Whahahaahaa. We at NOLiMiTiDEA love freedom. Take care guys.

www.flickr.com/people/chelove www.proteinmedia.com





Abstrak

Graffiti sering kali dipandang sebagai bentuk pencarian identitas anak muda atau untuk sekedar menunjukkan eksistensi mereka. Aksi mereka pun sering berhadapan dengan aparat kota (Satpol Pamong Praja) bahkan tidak jarang juga berhadapan dengan aparat kepolisian karena dipandang sebagai aksi yang merusak. Keberadaan bomber yang telah menjadi subkultur anak muda dipandang sebagai pemberontakan atas struktur urban semakin diterima. Meskipun di sisi lain pandangan yang sinis terhadap mereka tetap saja ada. Di era 1980-an, graffiti yang bertebaran di tembok-tembok kota sering menuliskan kelompok geng atau nama almamater sekolah. Hal-hal tersebut sering menjadi pemicu kekerasan antar kelompok, namun seiring perkembangan zaman, rupanya graffiti tidak sekedar menuliskan nama kelompok namun juga dikemas dengan cara yang lebih artistik dan tidak sekedar tagging belaka. Hingga kemudian seiring perkembangan gaya hidup yang ditopang oleh media massa maupun majalah dan buku-buku luar negeri yang membahas graffiti maupun dari internet, menjadikan graffiti tidak lagi dapat dipandang sebagai bentuk politik keberbedaan, namun hanya sekedar menjadi tuntutan tren saja. Graffiti hadir sebagai eksistensi mereka terhadap tanda zaman yang diwakili oleh tren gaya hidup dan hal ini lebih kuat tercermin daripada menunjukkan identitas mereka yang sarat ideologi keberbedaan.

0 komentar: